DUNIA PERENCANA
Isnin, 29 April 2013
Jumaat, 19 April 2013
Makalah Alih Fungsi Lahan
ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN SAWAH KE TANAMAN KELAPA
SAWIT
Oleh : Muhammad Chandra Agusti
ABSTRAK
Beras
merupakan komoditas strategis dan bahkan politis karena tidak bisa tidak harus
selalu tersedia dan tidak boleh kekurangan hal ini disebabkan komoditi beras
sebagai bahan pangan utama bangsa Indonesia. Luas areal panen dan produktifitas
tanaman merupakan faktor utama peningkatan produksi padi nasional. Beberapa
tahun terakhir pertumbuhan luas areal menjadi masalah yang sangat serius
seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, karena lahan pertanian sawah telah
dialih fungsikan ke non pertanian dan perkebunan terutama tanaman kelapa sawit.
Sehingga pada daerah yang selama ini merupakan sentra produksi beras terus
menurun, seiring dengan terjadinya alih fungsi lahan. Terjadinya alih fungsi
lahan sawah ke tanaman kelapa sawit disebabkan oleh : pendapatan usaha tani
lebih tinggi, resiko usaha tani lebih rendah, nilai jual/anggunan lebih tinggi,
biaya produksi lebih rendah, ketersediaan air, teknologi budidaya dan
dampak yang dihadapi produksi beras menurun, konversi lahan menurun dan
produktifitas lahan menurun. Upaya yang harus ditempuh untuk menekan laju alih
fungsi lahan adalah peran penyuluh ditingkatkan, adanya subsidi pemerintah dan
upaya pelarangan oleh pemerintah dengan diberlakukanya UU No.41 Tahun 2009.
Kata
kunci : Alih fungsi, Lahan, Sawah, Kelapa Sawit.
BAB I
PENDAHULUAN
Bangsa
Indonesia merupakan Bangsa yang sangat menikmati komoditi beras sebagai bahan
pangan utamanya. Oleh karenanya beras merupakan komoditi strategis dan bahkan
politis untuk tidak bisa tidak harus selalu tersedia dan tidak boleh
kekurangan.
Dalam
pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi
strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup
rakyat Indonesia. Selain lebih dari 90 persen penduduk Indonesia menjadikan
beras sebagai makanan pokoknya, beras juga menjadi industri yang strategis bagi
perekonomian nasional.
Luas
areal panen merupakan salah satu determinan utama peningkatan produksi padi
nasional di samping tingkat produktifitas tanaman. Pertumbuhan luas areal
menjadi masalah yang sangat serius karena bersaing dengan pertumbuhan jumlah
penduduk yang tinggi, indusrialisasi dan pembanguan infrastruktur publik.
Faktor-faktor tersebut telah mendorong terjadinya konversi lahan pertanian ke
non pertanian. Pada lahan pertanian secara umum terjadinya koversi lahan sawah
dan alih fungsi lahan sawah menjadi lahan perkebunan, sehingga lahan pertanian
sawah yang tersedia baik lahan yang sudah ada maupun percetakan lahan sawah
baru tidak sebanding dengan dengan laju pertumbuhan penduduk. Hal ini
disebabkan banyak lahan sawah yang ada dialihfungsikan menjadi tamanan
perkebunan kelapa sawit yang menyebabkan produksi beras nasional terus menurun
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.
BAB II
PENYEBAB DAN DAMPAK ALIH FUNGSI
LAHAN
2.1 Penyebab
2.1.1 Pendapatan Usaha Tani
Pada
usaha tani tanaman padi pendapatan yang diperoleh lebih kecil dibandingkan
dengan usaha tani kelapa sawit. Produktifitas tanaman padi hanya 3.74 ton/Ha
(BPS, 2007), sedangkan biaya yang dibutuhkan dalam pengelooan tananaman
tersebut dibutuhkan biaya yang sangat tinggi sehingga pendapat yang diperoleh
sangat rendah. Juga dipengaruhi oleh harga yang sangat rendah dan
berfluktuatif. Berbeda dengan kelapa sawit, produktifitas kelapa sawit cukup
tinggi yaitu 24 ton/Ha/tahun (Yan Fauzi,2005). Sedangkan biaya yang dibutuhkan
cukup rendah.
2.1.2 Resiko Usaha Tani
Usaha
tani tanaman padi sangat rentan terhadap kegagalan panen atau fuso hal ini
dapat disebabkan oleh hama dan penyakit juga factor alam. Pada beberapa tempat
serangan yang paling berat diantaranya serangan hama tikus, serangan hama
wereng dan penyakit tunggro dimana serangan tersebut kadang kala tidak bisa
dikendalikan lagi sehingga bukan mendapat keuntungan malah kerugian yang
diterima. Sedangkan pada tanaman kelapa sawit resiko kegagalan panen dan harga
relatip stabil sehingga resiko yang dihadapi petani kelapa sawit tersebut
sangat kecil.
2.1.3 Nilai Jual
Pada
lahan dan usaha tanaman padi nilai jual atau anggunan untuk mendapatkan kredit
cukup sulit dan kredit yang didapat relatip kecil hal ini disebabkan pada usaha
tani padi nilai kredit hanya dilihat dari nilai jual lahan sedangkan usaha
taninya tidak berpengaruh terhadap nilai kredit. Sedangkan usaha tani tanaman
kelapa sawit nilai kredit yang didapat cukup tinggi hal ini disebabkan ada
usaha tani tanaman kelapa sawit nilai jual lahan dan nilai tanaman dapat
mempengaruhi nilai kredit yang didapat karena produktifitas hasil dan
harga TBS (tandan buah segar) relatip stabil.
2.1.4 Biaya Produksi
Usaha
tani padi sawah membutuhkan biaya yang cukup besar, dimana kebutuhan akan
sarana produksi (pupuk, pestisida) dan biaya tenaga kerja sangat tinggi. Sedangkan
pada usaha tanaman kelapa sawit biaya yang cukup besar hanya dibutuhkan pada
saat awal pelaksanaan budidaya usaha tani, selanjutnya setelah produksi biaya
yang dibutuhkan cukup rendah.
2.1.5 Ketersediaan Air
Pada
berbagai daerah yang selama ini merupakan sentra produksi beras, lahan sawah
para petani telah banyak dialih fungsikan dikarenakan areal persawahan sudah
sulit mendapatkan air. Hal ini disebabkan oleh telah banyaknya saluran-saluran
air irigasi yang rusak dan telah berkurangnya perhatian pemerintah terhadap
sector pertanian khususnya penanganan sarana irigasi dan partisipasi masyarakat
dalam menjaga saluran irigasi yang telah ada sudah berkurang. Pada areal yang
berpotensi di cetak menjadi lahan sawah ataupun lahan sawah yang ada jauh dari
saluran pintu-pintu utama saluran irigasi sehingga akibat pemakaian dan
pengaturan air yang sembarangan menyebabkan pada sawah-sawah hilir tidak
mendapatkan pasokan air yang memadai.
2.1.6 Teknologi Budidaya
Pada
masyarakat yang kurang mengerti teknologi pertanian cendrung pada lahan sawah
hanya menaman tanaman padi ataupun hanya sebagian petani yang menanam tanaman
palawija. Dengan keterbatasan mereka pada teknologi, lahan sawah yang mestinya
bisa dibudidayakan berbagai macam tanaman semusim yang mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi pada akhirnya mencari jenis tanaman yang yang secara teknologi
ataupun resiko yang rendah mereka mengalih funsikan lahan mereka. Dengan
kemampuan petani yang ada hal ini dimungkin diberikan informasi mengenai
budidaya berbagai jenis tananam sehingga musim tanam tidak hanya pada tanaman
padi akan tetapi lahan pertanian dapat ditanamai dengan tanaman yang memberikan
nilai ekonomis yang cukup tinggi dan tidak mempengaruhi keadaan lahan tersebut.
Adanya tumpang gilir tanaman hal ini juga dapat memutus siklus hama dan
penyakit.
2.2 Dampak
2.2.1 Produksi Beras Menurun
Sebagai
Negara produsen beras terbesar ke tiga di Dunia, Indonesia seharusnya mampu
memenuhi kebutuhan konsumsi domestiknya (USDA, 2007).mengingat beras merupakan
bahan makanan pokok bagi hampir seluruh penduduk yang memenuhi lebih dari 50
persen total kebutuhan kalori per hari. Adapun usaha pemenuhan kebutuhan
konsumsi selama ini ditempuh oleh pemerintah melalui dua cara yaitu melalui
peningkatan produksi domestic dan melakukan impor. Pemenuhan dari produksi
domestic telah dilakukan dengan berbagai cara dan melalui berbagai kebijakan,
tetapi hasilnya masih kurang maksimal.
Kebijakan
perberasan di Indonesia meliputi kebijakan produksi, distribusi, impor dan
pengendalian harga domestic dalam rangka menjaga ketahanan pangan nasional.
Dengan berbagai kebijakan diantaranya Bimbingan Masal (Bimas) tahun1965,
Intensifikasi Khusus (Insus) tahun1979 dan Supra Insus tahun 1987 sehingg pada
tahun 1984 dapat menghantarkan Indonesia swasembada beras. Namun kondisi
tersebut hanya berlangsung sementara karena setelah itu Indonesia harus
mengimpor beras untuk memenuhi kebutuhannya.
Penurunan
produksi disebabkan oleh penggunaan input yang kurang berkualitas, masih
rendahnya rendemen beras, teknologi pasca panen yang kurang tepat,
degradasi kualitas lahan dan penurunan luas panen akibat konversi atau
alih fungsi lahan.
2.2.2 Konversi Lahan Bernilai
Negatif
Beberapa
kelemahan yang harus diperbaiki dalam pembangunan pertanian Indonesia antara
lain penguasaan lahan yang cukup sempit menyebabkan pendapatan petani tidak
mencukupi kebutuhan hidup jika dari usaha taninya. Karena itu Sebagian petani
padi selain menjadi produsen juga menjadi net consumer beras. Sempitnya
penguasaan lahan dikarenakan sistem warisan yang turun temurun. System warisan
yang membagi rata lahan pertanian kepada turunan menyebabkan terjadinya
fragmentasi lahan yang akhirnya mendorong terjadinya konversi lahan dengan
alasan ekonomi. Walaupun masih tetap ditanami padi akan tetapi hasil yang
didapat tidak bisa menopang ekonomi mereka bahkan sampai tidak bisa memenuhi
kebutuhan akan pangan keluarga petani itu sendiri. Lahan sawah tersebut dialih
fungsikan menjadi lahan untuk budidaya tanaman kelapa sawit agar lebih mudah
dalam perawatan dan dapat dijadikan usaha sampingan. Dengan terjadinya lahan
sawah dialih fungsikan menjadi lahan non pertanian ataupun beralih ketanaman
kelapa sawit maka akan terjadinya penurunan atau berkurangnya areal persawahan
dengan kata lain akan terjadinya penyempitan lahan pertanian sawah. Walaupun
adanya upaya pemerintah mencetak areal persawahan baru akan tetapi usaha
tersebut tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat
dimana membutuhkan bahan pangan beras sangat tinggi dikarenakan pola
konsumsi penduduk Indonesia sebagian besar merupakan bahan pangan utama. Kalau
hal ini terjadi secara terus menerus tidak bisa dipungkiri lagi bahwa kita akan
kekurang lahan pertanian sawah.
2.2.3.
Produktifitas lahan menurun
Pada
lahan yang sudah ditanami kelapa sawit membutuhkan waktu yang sangat panjang
untuk mengembalikan ke produktifitas lahan seperti semula. Baik untuk pertanian
sawah maupun jenis tanaman palawija dan hortikultura ataupun jenis tanaman
lainnya. Secara ekonomis memang budidaya tanaman kelapa sawit memang sangat
menguntungkan akan tetapi hal tersebut hanya pada jangka pendek dimana kelapa
sawit hanya mampu menghasil yang optimal sampai pada umur 15 tahun.
Setelah
itu lahan bekas tanaman kelapa sawit sudah tidak memungkin untuk diolah menjadi
lahan yang produktif atau tidak bisa dikembalikan ke lahan pertanian sawah.
Karena lahan tersebut baik secara struktur tanah sudah rusak maupun kandungan
unsur haranya sudah menjadi tanah gersang, hal ini juga dipengaruhi oleh system
perakaran serabut pada tanaman kelapa sawit. walaupun masih bisa
dikembalikan membutuhkan waktu yang sangat panjang dan biaya sangat tinggi.
BAB III
PEMBAHASAN
Booming
alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi lahan perkebunan menjadi tren di
kalangan petani. Hal ini tidak bisa dipungkiri, karena menjadi petani
perkebunan, khususnya kelapa sawit sangat menjanjikan sekali. Setiap saat harga
Tandan Buah Segar (TBS) terus naik, kondisi ini tentunya sangat menguntungkan
petani. Persoalan tidak hanya di situ. Mahalnya harga pupuk dan serangan hama
penyakit terhadap sawah petani juga menjadi pemicu semakin sengsaranya
masyarakat petani. Serta pada saat panen harga dipasaran menjadi rendah.
Padahal suatu ketika dulu merupakan sektor unggulan. Agar pengalih fungsi
lahan dapat dikurangi atau ditekan dengan berbagai cara diantaranya:
3.1. Peran Penyuluh
Keberadaan
Badan Koordinasi Penyuluh (Bakorlu) sangat diperlukan sekali, karena akan bisa
memberikan pendampingan kepada petani pertanian khususnya petani sawah sehingga
upaya alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi lahan perkebunan bisa ditekan
semaksimal mungkin. Banyaknya terjadi alih fungsi lahan saat ini karena
minimnya penyuluh yang memberikan pemahaman kepada petani arti pentingnya lahan
pertaniaan. Hal ini juga dipengaruhi oleh para penyuluh pertanian sudah banyak
ditarik menjadi tenaga teknis di berbagai instansi pemerintah. Ini terjadi
sejak banyaknya pembentukan kabupaten/kota baru.
Terjadinya
degradasi lahan pertanian, membuat masyarakat tani sekarang tergiur mengalih
funsikan lahan pertaniannya menjadi perkebunan, jika ini terus dibiarkan akan
menimbulkan dampak negatif pada produksi perberasan baik daerah maupun secara
nasional.
Masyarakat
miskin yang ada di daerah manyoritas adalah mereka yang berkecimpung di bidang
pertanian, mereka banyak yang tidak paham bagaimana meningkatkan produksi
pertaniannya dan masih banyak diantara mereka yang masih petani tradisional.
Padahal dengan teknologi yang ada masa tanam tersebut bisa bisa ditingkatkan
menjadi dua atau tiga kali setahun.
Di
sinilah peran penyuluh, sayang sampai saat ini mereka tidak diperhatikan. Sudah
saatnya pemerintah daerah khususnya memperhatikan, baik itu penyuluh pertanian,
perikanan, kehutanan dan sebagainya. Dari tangan penyuluhlah akan bisa membantu
para petani khususnya dalam meningkatkan pendapatan dan taraf hidup yang lebih
baik.
3.2.
Subsidi petani
Terjadinya
alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan yang dilakukan para petani sebenarnya
bisa dimaklumi, selain karena kondisi lebih menguntungkan juga dikarenakan
kondisi lahan lahan yang ada kurang cocok untuk lahan pertanian. Pada lahan
yang memang cocok untuk tanaman padi atau bahkan menjadi kawasan sentra
produksi beras, lahan tersebutlah yang mestinya harus dijaga agar tidak terjadi
alih fungsi lahan.
Pemerintah
harus turun tangan setidaknya dengan melakukan subsidi kepada petani. Harga
sarana produksi seperti pupuk dan pestisida sangat mahal, mereka bekerja keras
sementara hasil gabah mereka jual dengan harga murah di pasaran. Di sisi lain
hasil produksi tanaman perkebunan kelapa sawit terus mengalami peningkatan dan
harga jual yang stabil mekipun pemerintah tidak ikut campur dalam hal
pemasaran. Subsidi yang dilakukan pemerintah adalah dengan membeli hasil
produksi pertanian tanaman pangan dengan harga mahal dari petani dan kemudian
dijual dengan harga murah. Jika pemerintah ikut campur tangan dalam hal
pemasaran hasil pertanian petani, maka alih fungsi lahan khususnya lahan-lahan
yang cocok untuk pertanian tidak akan dilakukan petani.
3.3.
Dilarang
Larangan
alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan perkebunan dan sebagainya telah
dikeluarkan oleh pemerintah. Melalui Undang-undang (UU) 41 tahun 2009,
pemerintah telah mengeluarakan aturan, setiap pelaku baik petani, pejabat
maupun badan usaha melakukan alih fungsi lahan akan dikenakan hukuman pidana
dan denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kebijakan
ini dibuat untuk mempertahankan kelangsungan produksi pertanian di Indonesia,
terlebih lagi ancaman alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan sudah tidak
terkendali. Walaupun belum adanya data berapa luas lahan produktif
beralih fungsi menjadi kawasan perkebunan. Laju alih fungsi ini harus
segera dihentikan, jika tidak ancaman rawan pangan bakal terjadi.
Dalam
UU 41 tahun 2009 dikatakan, bagi perseorangan yang melakukan tindakan alih
fungsi lahan akan dikenakan hukuman penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak Rp 1 milyar. Dan bagi perseorangan yang tidak melakukan kewajiban
mengembalikan keadaan lahan pertanian pangan bekelanjutan ke keadaan semula
dikenakan hukuman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak
Rp 3 milyar. Dan apabila perbuatan tersebut diatas pelakunya pejabat
pemerintah, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang diancamkan.
Pemerintah
daerah baik propinsi, kabupaten/kota diberi tenggak waktu dua tahun untuk
menetapkan lahan pertanian bekelanjutan. Artinya, masing-masing daerah
diberi tenggak dua tahun untuk membuat perda kawasan lahan pertanian
berkelanjutan. Lahan inilah nantinya jika dialih fungsikan pelakunya akan
dikenakan sanksi sesuai aturan yang ada. Jual beli lahan pertanian tetap
diperbolehkan, akan tetapi pembelinya tidak diperkenankan untuk melakukan alih
fungsi lahan tersebut.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Petani akan mengalih fungsikan lahan
pertanian sawah ke lahan perkebunan diantaranya disebabkan oleh : pendapatan
usaha tani sawit lebih tinggi, resiko usaha tani kelapa sawit lebih rendah,
nilai jual/anggunan kebun kelapa sawit nilanya lebih tinggi, biaya produksi
padi lebih tinggi, ketersedian air pada lahan sawah sudah sulit, teknologi
budidaya sawit lebih mudah dipahami dan dilaksanakan.
2. Akibat atau dampak yang ditimbulkan
alih funsi lahan adalah produksi beras menurun, konversi lahan negative atau
tidak sebanding lahan yang tersedia baik yang telah ada maupun cetak baru
terhadap jumlah penduduk dan produktifitas lahan menurun dimana bekas lahan
yang telah ditanami sawit diperlukan waktu yang sangat panjang untuk bisa
diolah kembali menjadi lahan produktif.
3. Untuk menekan laju alih fungsi lahan
perlu dilakukan peningkatan peran penyuluh, subsidi pemerintah, dan adanya
upaya pelarang oleh pemerintah dalam pengalih.
Khamis, 18 April 2013
Skala Peta Pata Rencana Tata Ruang
SKALA PETA PADA RENCANA TATA RUANG
Struktur perencanaan pembangunan nasional yang dicirikan dengan terbitnya Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tantang sistem perencanaan nasional, maka kepala daerah terpilih diharuskan menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) di daerahnya masing-masing. Dokumen RPJM ini akan menjadi acuan pembangunan daerah yang memuat antara lain visi, misi, arah kebijakan dan program-program pembangunan selama 5 (lima) tahun ke depan. Dengan demikian terkait kondisi tersebut, maka dokumen Rancana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada juga harus mengacu pada visi dan misi tersebut. Dengan kata lain RTRW yang ada merupakan bagian dari terjemahan visi, misi daerah yang dipresentasikan dalam bentuk pola dan struktur pemanfaatan ruang.
Landasan hukum penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada Undang-Undang Nomer 24 tahun 1992 tentang penataan ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum yang berisi tentang kewajiban setiap Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan pembangunan daerah. Kewajiban Daerah untuk menyusun tata ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Menindak lanjuti Undang-Undang tersebut di atas, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan enam pedoman bidang penataan ruang, meliputi :
a. Pedoman penyusunan RTRW propinsi.
b. Pedoman Penyusunan Kembali RTRW propinsi.
c. Pedoman penyusunan RTRW kabupaten
d. Pedoman penyusunan kembali RTRW kabupaten.
e. Pedoman penyusunan RTRW perkotaan.
f. Pedoman penyusunan kembali RTRW perkotaan.
Pedoman seperti tertulis di atas sebagai acuan bagi para penanggung jawab pengembangan wilayah propinsi, kabupaten dan kawasan perkotaan. Pedoman penyusunan RTRW meliputi kegiatan penyusunan mulai dari persiapan hingga proses legalisasi. Hal-hal teknis operasional yang belum diatur dalam keputusan Menteri ini diatur lebih lanjut oleh pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat umum sampai tingkat yang sangat rinci seperti dicerminkan dari tata ruang tingkat propinsi, kabupaten, perkotaan, desa dan bahkan untuk tata ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya.
Mengingat rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, maka tata ruang nasional, propinsi dan kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari aspek substansi dan operasional harus konsistensi.
1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
RTRW Nasional adalah strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara yang meliputi tujuan nasional dan arahan pemanfaatan ruang yang memperhatikan keterkaitan antar pulau dan antar propinsi. RTRW Nasional disusun pada tingkat ketelitian skala 1:1.000.000 dengan jangka waktu perencanaan selama 25 tahun.
2. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)
RTRW Propinsi merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah propinsi yang berfokus pada keterkaitan antar kawasan/kabupaten/kota karena perkembangan suatu wilayah tidak dapat dilepaskan dari wilayah lain di sekitarnya. RTRW Propinsi disusun pada tingkat ketelitian skala 1:250.000 dengan jangka waktu perencanaan selama 15 tahun.
3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota (RTRWK) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten adalah rencana tata ruang dalam wilayah administrasi kabupaten dengan tingkat ketelitian minimal skala 1:100.000 berjangka waktu perencanaan 10 tahun.
Landasan hukum penyusunan tata ruang di Indonesia secara umum mengacu pada Undang-Undang Nomer 24 tahun 1992 tentang penataan ruang. Pedoman ini sebagai landasan hukum yang berisi tentang kewajiban setiap Propinsi, Kabupaten dan Kota untuk menyusun tata ruang wilayah sebagai arahan pelaksanaan pembangunan daerah. Kewajiban Daerah untuk menyusun tata ruang berkaitan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Menindak lanjuti Undang-Undang tersebut di atas, Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 327/KPTS/M/2002 menetapkan enam pedoman bidang penataan ruang, meliputi :
a. Pedoman penyusunan RTRW propinsi.
b. Pedoman Penyusunan Kembali RTRW propinsi.
c. Pedoman penyusunan RTRW kabupaten
d. Pedoman penyusunan kembali RTRW kabupaten.
e. Pedoman penyusunan RTRW perkotaan.
f. Pedoman penyusunan kembali RTRW perkotaan.
Pedoman seperti tertulis di atas sebagai acuan bagi para penanggung jawab pengembangan wilayah propinsi, kabupaten dan kawasan perkotaan. Pedoman penyusunan RTRW meliputi kegiatan penyusunan mulai dari persiapan hingga proses legalisasi. Hal-hal teknis operasional yang belum diatur dalam keputusan Menteri ini diatur lebih lanjut oleh pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, rencana tata ruang dirumuskan secara berjenjang mulai dari tingkat yang sangat umum sampai tingkat yang sangat rinci seperti dicerminkan dari tata ruang tingkat propinsi, kabupaten, perkotaan, desa dan bahkan untuk tata ruang yang bersifat tematis, misalnya untuk kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, jaringan jalan, dan lain sebagainya.
Mengingat rencana tata ruang merupakan salah satu aspek dalam rencana pembangunan nasional dan pembangunan daerah, maka tata ruang nasional, propinsi dan kabupaten/kota merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan dari aspek substansi dan operasional harus konsistensi.
1. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
RTRW Nasional adalah strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah negara yang meliputi tujuan nasional dan arahan pemanfaatan ruang yang memperhatikan keterkaitan antar pulau dan antar propinsi. RTRW Nasional disusun pada tingkat ketelitian skala 1:1.000.000 dengan jangka waktu perencanaan selama 25 tahun.
2. Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)
RTRW Propinsi merupakan strategi dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah propinsi yang berfokus pada keterkaitan antar kawasan/kabupaten/kota karena perkembangan suatu wilayah tidak dapat dilepaskan dari wilayah lain di sekitarnya. RTRW Propinsi disusun pada tingkat ketelitian skala 1:250.000 dengan jangka waktu perencanaan selama 15 tahun.
3. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/kota (RTRWK) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten adalah rencana tata ruang dalam wilayah administrasi kabupaten dengan tingkat ketelitian minimal skala 1:100.000 berjangka waktu perencanaan 10 tahun.
Langgan:
Catatan
(
Atom
)